Menu Tutup

Ayam Jago yang Menjadi Simbol: Kisah Perlawanan

Ayam jago, dengan kokoknya yang lantang dan sikapnya yang pemberani, telah lama menjadi simbol keberanian, perlawanan, dan identitas budaya di berbagai belahan dunia. Dalam konteks Indonesia, ayam jago tidak hanya sekadar hewan ternak, tetapi juga merepresentasikan semangat juang, keperkasaan, dan keteguhan hati. Salah satu kisah paling menonjol yang menggambarkan ayam jago sebagai simbol perlawanan adalah perjuangan Sultan Hasanuddin, yang dijuluki “Ayam Jantan dari Timur” oleh Belanda, serta makna budaya ayam jago dalam tradisi sabung ayam di Bali dan Jawa. Artikel ini akan mengeksplorasi bagaimana ayam jago menjadi lambang perlawanan melalui kisah Sultan Hasanuddin dan simbolisme budaya di Indonesia.

Sultan Hasanuddin, lahir pada 12 Januari 1631 di Makassar, adalah raja ke-16 Kerajaan Gowa-Tallo. Ia dikenal sebagai pahlawan nasional Indonesia yang gigih melawan penjajahan Belanda pada abad ke-17. Julukan “Ayam Jantan dari Timur” (De Haantjes van Het Oosten) diberikan oleh Belanda karena keberanian dan keteguhannya dalam menentang monopoli perdagangan rempah-rempah yang dilakukan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).

Pada masa pemerintahannya (1653–1669), Kerajaan Gowa menjadi pusat perdagangan penting di Sulawesi Selatan, menghubungkan Jawa, Kalimantan, dan Kepulauan Maluku. Letaknya yang strategis membuat Gowa menarik perhatian VOC, yang berambisi menguasai perdagangan rempah-rempah. Namun, Sultan Hasanuddin menolak tunduk pada tekanan VOC. Ia memandang laut sebagai milik semua umat manusia dan menentang praktik monopoli yang merugikan rakyatnya. Pada 1655, ia memimpin serangan terhadap posisi Belanda di Buton, menandai dimulainya perlawanan bersenjata.

Perjuangan Sultan Hasanuddin mencapai puncaknya antara 1666 hingga 1669. Bersama armada laut Gowa yang terkenal tangguh, ia berulang kali menyerang posisi Belanda. Meskipun menghadapi aliansi VOC dengan Kerajaan Bone di bawah Aru Palaka, Sultan Hasanuddin tidak pernah menyerah. Bahkan setelah kekalahan dalam Perjanjian Bongaya pada 1667, ia terus melakukan perlawanan gerilya hingga akhir hayatnya pada 12 Juni 1670. Kegigihannya menjadikan ayam jago sebagai simbol perlawanan yang tak kenal takut, mencerminkan semangat juang yang terus hidup dalam budaya Indonesia.

Selain kisah Sultan Hasanuddin, ayam jago juga memiliki makna mendalam dalam budaya Indonesia, khususnya melalui tradisi sabung ayam. Antropolog Clifford Geertz, dalam esainya yang terkenal dalam buku The Interpretation of Culture, menggambarkan sabung ayam di Bali sebagai lebih dari sekadar perjudian. Menurut Geertz, sabung ayam adalah cerminan pertarungan manusia, melambangkan status, kejantanan, kepahlawanan, dan etika sosial masyarakat Bali. Istilah “sabung” sendiri, yang merujuk pada ayam jantan, telah muncul dalam inskripsi Bali sejak 922 M, digunakan secara metaforis untuk menyebut “pahlawan” atau “orang kuat.”

Praktik sabung ayam di Bali, yang telah ada sejak abad ke-10, bukan hanya hiburan, tetapi juga ritual keagamaan. Darah ayam yang tumpah dianggap sebagai persembahan untuk menyenangkan dewa, memohon kesuburan, atau merayakan kemenangan perang. Prasasti Sukawana, Batur Abang, Trunyan, dan Sembiran mencatat tradisi ini, menunjukkan betapa dalamnya akar budaya sabung ayam di masyarakat Bali.

Di Jawa, sabung ayam juga memiliki makna serupa. Cerita rakyat seperti Cindelaras dari Kerajaan Jenggala (abad ke-11) dan Ciung Wanara dari Kerajaan Galuh (abad ke-8) menggambarkan ayam jago sebagai simbol kuasa dan keberanian. Dalam kedua cerita ini, seorang pangeran yang terbuang berhasil merebut kembali haknya melalui sabung ayam, menunjukkan bahwa ayam jago melambangkan perjuangan melawan ketidakadilan.

Ayam jago juga memiliki makna simbolis dalam budaya Sunda, khususnya di Kabupaten Cianjur, melalui ayam pelung. Ayam pelung, yang terkenal dengan kokoknya yang merdu, menjadi simbol identitas kultural Cianjur. Slogan “Cianjur Jago” mencerminkan harapan akan masyarakat yang kuat dan berprestasi, menggambarkan ayam jago sebagai lambang pembangunan fisik dan psikis.

Selain dalam tradisi lisan dan ritual, ayam jago juga muncul dalam budaya material, seperti mangkuk ayam jago yang populer di Asia. Mangkuk ini, yang berasal dari Dinasti Ming (1465–1487), memiliki makna simbolis yang mendalam. Kata “ji” (ayam) dalam bahasa Tionghoa mirip bunyinya dengan “jia” (rumah atau keluarga), sehingga ayam jago melambangkan kemakmuran keluarga. Gambar bunga peony pada mangkuk menandakan kekayaan, sementara daun pisang melambangkan keberuntungan. Dalam tradisi Tionghoa, ayam jago juga mencerminkan kerja keras dan jiwa petarung, nilai-nilai yang selaras dengan semangat perlawanan.

Mangkuk ayam jago menjadi begitu ikonik sehingga pada 2013, Pemerintah Thailand mendaftarkannya sebagai produk Indikasi Geografis Lampang, mengakui kualitas dan reputasinya secara internasional. Di Indonesia, mangkuk ini identik dengan warung makan tradisional, menambah dimensi budaya populer pada simbolisme ayam jago.

Simbolisme ayam jago sebagai lambang perlawanan tidak hanya terbatas di Indonesia. Di Prancis, ayam jago Gallic (Gallic Rooster) menjadi simbol nasional yang melambangkan keberanian dan perlawanan, terutama selama Perang Dunia I. Kartunis politik Prancis menggunakan ayam jago untuk mewakili rakyat petani dan buruh yang melawan agresi Prusia. Simbol ini tetap relevan hingga kini, terlihat pada jersey tim nasional sepak bola Prancis.

Kembali ke Indonesia, ayam jago juga memiliki dimensi mistis. Dalam beberapa tradisi, ayam jago putih dianggap mampu melihat alam gaib dan menangkal roh jahat, menambah lapisan makna spiritual pada simbolisme hewan ini.

Ayam jago, dengan segala makna budaya dan sejarahnya, adalah simbol yang kaya dan kompleks. Dari perjuangan heroik Sultan Hasanuddin melawan VOC hingga tradisi sabung ayam di Bali dan Jawa, ayam jago mewakili keberanian, perlawanan, dan identitas kultural. Filosofi mangkuk ayam jago dan simbolisme global seperti Gallic Rooster menunjukkan bahwa ayam jago bukan hanya hewan, tetapi juga cerminan semangat juang manusia. Kisah-kisah ini mengajarkan bahwa, seperti ayam jago yang berkokok dengan gagah, kita pun dapat berdiri tegak melawan tantangan, mempertahankan martabat dan kebebasan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *