
Bakarat, permainan kartu yang identik dengan kemewahan dan taruhan tinggi, telah lama menjadi simbol gaya hidup elit dunia. Dari kasino-kasino megah di Monte Carlo hingga ruang VIP eksklusif di Makau, meja bakarat sering menjadi tempat bertemunya para pengusaha kaya, selebritas, dan tokoh berpengaruh. Namun, di balik kilauan lampu kristal dan aroma parfum mahal, meja bakarat juga menjadi saksi bisu berbagai skandal yang mengguncang dunia. Artikel ini menyelami beberapa skandal terbesar yang melibatkan elit dunia di meja bakarat, mengungkap bagaimana permainan ini menjadi panggung intrik, kecurangan, dan drama.
Bakarat memiliki sejarah panjang yang berakar dari Eropa abad pertengahan. Menurut beberapa sumber, permainan ini pertama kali muncul di Italia pada abad ke-15 dengan nama baccara, yang berarti “nol” dalam bahasa Italia, merujuk pada nilai kartu wajah dalam permainan. Dari Italia, bakarat menyebar ke Prancis, di mana ia menjadi favorit kalangan bangsawan. Versi modern seperti Punto Banco kemudian berkembang di Amerika Serikat pada abad ke-20, khususnya di Las Vegas, yang memperkuat citranya sebagai permainan elit.
Daya tarik bakarat terletak pada kesederhanaannya yang elegan—pemain hanya perlu memilih antara bertaruh pada “Player”, “Banker”, atau “Tie”. Namun, di balik aturan sederhana ini, taruhannya sering kali mencapai ratusan ribu hingga jutaan dolar, menjadikannya magnet bagi para high roller dan tempat berkumpulnya elit global. Sayangnya, besarnya uang yang dipertaruhkan juga mengundang skandal.
Salah satu skandal bakarat paling terkenal melibatkan Phil Ivey, pemain poker profesional yang dijuluki “Tiger Woods of Poker”. Pada 2012, Ivey memenangkan $9,6 juta dalam sesi bakarat di Borgata Casino, Atlantic City, dan £7,7 juta di Crockfords Casino, London. Kemenangan ini awalnya dianggap sebagai keberuntungan luar biasa, tetapi kemudian terungkap bahwa Ivey menggunakan teknik kontroversial yang dikenal sebagai edge sorting.
Edge sorting memanfaatkan ketidaksempurnaan kecil pada pola belakang kartu remi untuk mengidentifikasi kartu tertentu. Ivey, bersama rekannya Cheung Yin Sun, meminta dealer untuk memutar kartu dengan alasan takhayul, yang memungkinkan mereka melihat pola cacat pada kartu. Teknik ini memberi mereka keunggulan statistik yang signifikan. Meski Ivey bersikeras bahwa ia hanya memanfaatkan kelemahan kasino tanpa melanggar aturan, kedua kasino menolak membayar kemenangannya. Borgata bahkan menggugat Ivey, dan pengadilan memerintahkannya untuk mengembalikan $10,1 juta. Kasus ini memicu debat sengit: apakah edge sorting adalah kecurangan atau sekadar strategi cerdas?
Makau, yang sering disebut sebagai “Las Vegas Asia”, adalah pusat bakarat global, menyumbang lebih dari 80% pendapatan kasino di wilayah itu. Ruang VIP di kasino Makau adalah tempat para taipan Asia dan elit global bertaruh dengan jumlah fantastis. Namun, pada 2010-an, meja bakarat Makau terseret ke dalam skandal pencucian uang yang melibatkan pejabat tinggi Tiongkok dan sindikat kriminal.
Pihak berwenang Tiongkok menemukan bahwa banyak pejabat korup menggunakan junket operator—perantara yang mengatur perjalanan dan kredit untuk high roller—untuk memindahkan dana gelap ke luar negeri melalui taruhan bakarat. Salah satu kasus terbesar melibatkan Lai Changxing, seorang pengusaha Tiongkok yang diduga mencuci miliaran yuan melalui kasino Makau sebelum melarikan diri ke Kanada. Skandal ini memicu tindakan keras dari pemerintah Tiongkok, yang memperketat regulasi junket dan menyebabkan penurunan pendapatan kasino Makau pada 2014-2016.
Kasus ini menyoroti bagaimana meja bakarat, dengan taruhan tinggi dan anonimitas relatif, menjadi alat ideal untuk aktivitas ilegal. Meski kasino Makau telah berupaya membersihkan citranya, bayang-bayang skandal masih menghantui.
Bukan hanya pebisnis atau penjudi profesional yang terjerat skandal di meja bakarat. Anggota kerajaan juga tak luput dari sorotan. Pada 1990-an, Pangeran Jefri Bolkiah dari Brunei, dikenal sebagai “Playboy Prince”, menjadi berita utama karena gaya hidupnya yang mewah dan utang judi yang mencapai ratusan juta dolar. Jefri dilaporkan sering menghabiskan malam di meja bakarat di kasino London dan Las Vegas, bertaruh dengan jumlah yang membuat manajer kasino pun tercengang.
Skandal ini mencuat ketika pemerintah Brunei menyelidiki pengeluaran Jefri, yang diduga menggunakan dana negara untuk mendanai gaya hidupnya. Meski Jefri membantah tuduhan tersebut, kasus ini merusak reputasinya dan mengungkap sisi gelap dari kemewahan elit dunia. Cerita Jefri menjadi peringatan bahwa bahkan mereka yang tampak tak tersentuh hukum bisa jatuh tersandung di meja bakarat.
Mengapa meja bakarat begitu sering menjadi pusat skandal? Salah satu faktornya adalah psikologi perjudian itu sendiri. Bakarat, dengan ritmenya yang cepat dan taruhan yang besar, menciptakan suasana euforia dan tekanan yang dapat mendorong perilaku impulsif. Para elit, yang sering merasa kebal terhadap konsekuensi, mungkin tergoda untuk mengambil risiko lebih besar, baik dalam bentuk taruhan berlebihan maupun tindakan curang.
Selain itu, meja bakarat adalah tempat di mana status sosial dipamerkan. Bagi banyak elit, bertaruh besar bukan hanya soal menang atau kalah, tetapi juga menunjukkan kekayaan dan kekuasaan. Ini menciptakan lingkungan yang matang untuk intrik, dari kecurangan hingga konspirasi finansial. Seperti yang pernah dikatakan oleh penulis Mark Twain, “Seharusnya saya tetap di meja permainan dan meminjam dayung milik bandar,” menggambarkan bagaimana godaan meja judi bisa mengaburkan logika.
Skandal-skandal ini bukan hanya menghibur sebagai gosip, tetapi juga memiliki konsekuensi nyata bagi industri kasino. Kasus Phil Ivey memaksa kasino untuk meningkatkan keamanan, termasuk penggunaan kartu dengan desain lebih seragam dan pelatihan dealer yang lebih ketat. Sementara itu, skandal pencucian uang di Makau mendorong regulasi yang lebih ketat di seluruh dunia, termasuk pemeriksaan lebih mendalam terhadap sumber dana pemain.
Namun, skandal juga memiliki sisi positif: mereka menarik perhatian publik. Cerita tentang kemenangan besar atau kecurangan dramatis sering kali meningkatkan daya tarik bakarat, membuat lebih banyak orang penasaran untuk mencoba permainan ini. Ironisnya, skandal yang merusak reputasi beberapa individu justru memperkuat aura mistis bakarat sebagai permainan para elit.
Meja bakarat lebih dari sekadar tempat bermain kartu—ia adalah panggung di mana ambisi, keserakahan, dan kecerdasan bertabrakan. Dari kecurangan cerdas Phil Ivey hingga skandal pencucian uang di Makau, cerita-cerita ini mengungkap sisi gelap dunia elit. Bakarat tetap menjadi simbol kemewahan, tetapi juga pengingat bahwa bahkan di antara kilauan kekayaan, skandal selalu mengintai.
Dengan taruhan yang terus meningkat dan teknologi yang memungkinkan pengawasan lebih ketat, masa depan bakarat mungkin akan melihat lebih sedikit skandal. Namun, selama ada uang besar dan ego yang lebih besar, meja bakarat akan terus menjadi tempat di mana elit dunia tersandung—dan dunia menonton dengan penuh minat.